Mengapa Averaging Down Buruk bagi Seorang Trend Follower?

Averaging down sering dianggap strategi jitu, namun bagi trend follower justru berbahaya. Pelajari alasan logis mengapa trader legendaris menolak averaging down dan bagaimana strategi ini merusak sistem trend following.

TREND FOLLOWING MINDSET

Muhammad Faisal

11/14/20254 min read

Averaging down adalah praktik umum di dunia trading dan investasi. Konsepnya sederhana: ketika harga saham yang sudah kamu beli turun, kamu menambah posisi lebih banyak sehingga harga rata-rata pembelian menjadi lebih rendah. Para pelaku pasar yang melakukan averaging down biasanya memiliki alasan seperti:

  • Memanfaatkan kesempatan membeli aset “lebih murah”

  • Menurunkan average price agar potensi profit meningkat saat harga kembali naik

  • Meyakini pasar sedang “keliru”

  • Berharap pemulihan harga akan menghasilkan keuntungan besar

Sekilas, logika ini terlihat masuk akal—apalagi bagi investor jangka panjang yang percaya pada nilai suatu perusahaan. Tetapi, tahukah kamu bahwa para trend follower tersukses di dunia justru menghindari strategi ini?

Tokoh-tokoh legendaris seperti Ed Seykota, Richard Dennis, Paul Tudor Jones, dan banyak nama besar lainnya secara tegas menolak averaging down. Bahkan Paul Tudor Jones memiliki ungkapan yang sangat terkenal: “Losers average losers.” Kalimat pendek ini menekankan bahwa menambah posisi pada aset yang sedang merugi adalah resep bencana.

Mengapa averaging down dianggap buruk bagi trend follower? Berikut alasan-alasan logisnya:

Dalam trend following, aturan utamanya sangat sederhana: beli ketika harga menguat, keluar ketika harga melemah. Ketika kamu averaging down, kamu justru melakukan kebalikan dari prinsip dasar ini. Kamu menambah posisi pada aset yang jelas-jelas menunjukkan tanda kelemahan.

Trend follower selalu beroperasi berdasarkan fakta pergerakan harga, bukan keyakinan pribadi. Jika harga bergerak turun, itu sinyal bahwa tren melemah atau bahkan berbalik. Memaksa menambah posisi di titik ini berarti kamu mengabaikan informasi paling penting di pasar: harga tidak mendukungmu.

Selain itu, averaging down otomatis membuat portofolio kamu semakin berat pada posisi yang sudah terbukti “salah arah.” Dalam sistem trend following, posisi kalah harus dipangkas sekecil mungkin untuk menjaga modal, sehingga modal dapat dialokasikan ke posisi yang sedang membuktikan dirinya sebagai pemenang. Averaging down justru membalikkan logika tersebut.

2. Averaging Down Meningkatkan Risiko Tanpa Batas Sementara Potensi Profit Tetap Terbatas
1. Averaging Down Melawan Esensi Trend Following: Ikuti Kekuatan, Hindari Kelemahan

Saat kamu averaging down, kamu memperbesar posisi di aset yang sedang melemah. Artinya, jika penurunan berlanjut (dan sering kali memang begitu), kerugian akan membengkak jauh lebih cepat dari yang kamu perkirakan. Trend follower memahami bahwa setiap aset bisa turun jauh lebih lama, lebih dalam, dan lebih tidak rasional dari yang kita bayangkan.

Sementara itu, potensi profit dari averaging down justru tidak bertambah secara proporsional. Kamu memang menurunkan rata-rata harga beli, tetapi itu tidak mengubah struktur pasar. Harga tetap harus naik dan menembus beberapa level resistance untuk sekadar kembali ke area impas. Artinya, kamu mengambil risiko besar hanya demi kemungkinan profit yang tidak signifikan atau sekadar ingin “benar” terhadap ego sendiri.

Ini berbeda dari trend following, di mana posisi pemenang dibiarkan tumbuh besar seiring tren menguat. Risiko tetap terkendali, sementara potensi keuntungan bisa terus berkembang tanpa batas. Averaging down membuat struktur risk-reward menjadi timpang: risiko membesar, reward tidak sepadan.

  • Averaging down bertentangan dengan prinsip inti trend following, yaitu mengikuti kekuatan harga dan menghindari aset yang melemah.

  • Menambah posisi pada aset yang sedang turun memperbesar risiko tanpa batas, sementara potensi profit tetap terbatas.

  • Averaging down memicu bias emosional seperti ego, loss aversion, dan harapan palsu—semua hal yang merusak disiplin sistem.

  • Satu posisi averaging down yang salah dapat menghancurkan struktur risk management, bahkan menghapus keuntungan dari banyak posisi pemenang.

  • Trend follower sukses melakukan kebalikannya: cut loss cepat, biarkan pemenang tumbuh, dan hanya tambah posisi saat tren menguat (averaging up).

Jika kamu ingin belajar bagaimana trend follower profesional membaca pasar, memaksimalkan tren, dan menghindari jebakan averaging down,
ikuti program TrendMatrix sekarang.

Bangun sistem trading yang disiplin, objektif, dan terbukti bekerja di berbagai kondisi pasar.
👉 Saatnya trading dengan cara yang lebih cerdas dan terukur.. Klik disini!

Key Takeaway
3. Averaging Down Mengikat Emosi dan Meningkatkan Bias Kognitif

Ketika seorang trader averaging down, keputusan tersebut sering muncul dari emosi: tidak ingin terlihat salah, ingin membuktikan bahwa analisis awal benar, dan takut menerima kerugian kecil sekarang. Proses ini membuka pintu bagi berbagai bias kognitif—terutama confirmation bias, loss aversion, dan sunk cost fallacy.

Trend follower terbaik di dunia memahami bahwa disiplin dan objektivitas adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi pasar. Averaging down justru mendorong trader masuk ke spiral emosional yang membuat mereka semakin sulit mengambil keputusan jernih. Alih-alih keluar dari posisi kalah dengan cepat, mereka terjebak semakin dalam, berharap pada keajaiban pemulihan.

Selain itu, ketika modal semakin besar tersangkut di posisi rugi, trader menjadi semakin enggan mengikuti sinyal sistem. Mereka kehilangan fleksibilitas dan sering berakhir dengan portofolio yang tidak seimbang: sebagian kecil menang, sebagian besar nyangkut rugi. Trend following menuntut mentalitas kebalikan dari itu—merawat pemenang, memotong pecundang.

4. Averaging Down Merusak Struktur Sistem dan Konsistensi Return

Sistem trend following dirancang untuk mengejar tren panjang yang menghasilkan outlier profits—keuntungan besar yang menutup deretan kerugian kecil. Namun averaging down membuat struktur ini hancur. Posisi yang harusnya dipotong kecil-kecil berubah menjadi monster yang menggerus modal, menghancurkan expectancy sistem.

Bahkan satu posisi averaging down yang gagal bisa menghapus keuntungan dari 20–30 posisi lain yang sukses. Inilah mengapa para trader legendaris menekankan pentingnya memelihara kerugian tetap kecil. Ketika struktur risk management rusak, sistem yang tadinya memiliki probabilitas keuntungan jangka panjang menjadi sistem yang rentan bangkrut hanya karena satu aset buruk.

Di sisi lain, trend follower sejati justru melakukan averaging up—menambah posisi ketika mereka sudah benar dan pasar mengonfirmasi kekuatan tren. Ini memperkuat struktur sistem: risiko awal tetap kecil, sementara posisi pemenang dibiarkan tumbuh semakin besar seiring tren berlangsung.

Kesimpulan: Averaging Down Bukan untuk Trend Follower

Averaging down mungkin terlihat menarik bagi sebagian pelaku pasar, tetapi bagi trend follower, strategi ini adalah jebakan psikologis dan finansial. Ia melawan prinsip inti trend following, meningkatkan risiko tanpa batas, memperkuat bias emosional, dan merusak struktur sistem jangka panjang.

Para legenda trading tidak menolak averaging down tanpa alasan. Mereka memahami bahwa kunci keberhasilan bukanlah menebak arah pasar atau merasa “benar,” melainkan mengikuti harga, menjaga risiko, dan memaksimalkan tren yang jelas terlihat.

Bagi trend follower sejati, strategi terbaik hanya satu:
cut your losses short, let your winners run — never average a loser.